Saturday 10 March 2012

Ilmu Tanpa Buku

Ilmu Tanpa Buku…

Tatkala NAbi Ibrahim bertafakur dialam terbuka, Ia dapat banyak ilmu tentang Kehidupan dan ilmu tentang Ketuhanan. Hal yang sama juga dilakukan oleh semua Nabi dan Rasul Allah sebelum dan sesudah Beliau, begitu juga wali-wali Allah dari zaman dulu sampai dengan sekarang ini. Bahkan penemuan berbagai ilmu
pengetahuan dari masa kemasa pun bermunculan ketika ada orang-orang yang dengan telaten bersedia melakukan tafakur baik dialam terbuka yang maha luas ini (makro kosmos) maupun dialam renik yang maha kecil (mikro kosmos).

Walau zaman mereka berbeda-beda dan jenis temuannya juga sangat beragam sekali, namun ada satu hal yang sama yang dilakukan oleh seluruh Nabi, Rasul, wali-wali Allah, dan para penemu ilmu pengetahuan itu. Ya… satu hal yang sama. Yaitu membaca ilmu tanpa buku. Iqraa.

Mari kita lihat sejenak jejak unik Nabi Ibrahim di dalam Al Qur'an dalam
mengenal Allah. Dalam tafakur Beliau yang dalam dialam terbuka, Beliau sempat mempertuhankan bintang-bintang, lalu bulan, lalu matahari, sebelum akhirnya Beliau berhasil mendapatkan kepahaman yang tepat dan benar tentang Tuhan Yang Hakiki, yaitu Allah. Artinya, Al Qur'an sendiri telah memberikan sebuah contoh terlalu sederhana tentang betapa seorang Ibrahim pun pada mulanya
adalah seorang yang tidak mengenal Allah dengan tepat dan benar. Akan tetapi saat Beliau dengan tekun duduk tafakur dialam terbuka membaca ilmu tanpa buku, maka hasilnya menjadi sangat lain. Hasilnya adalah sebuah agama fitrah yang tetap abadi sampai sekarang.


Tradisi membaca ilmu tanpa buku itu berlanjut kepada Nabi Muhammad. Diawal-awal Beliau menerima Risalah kenabian, selama berbilang hari Beliau bertafakur di Gua Hira. Siang malam Beliau memandang langit tanpa atap, memandang bintang-bintang yang berdenyut, memandang senyuman bulan yang misteri, memandang gumpalan awan yang berarak kesana-kemari, memandang hamparan cakrawala luas tak bertepi. Dahsyat sekali sebenarnya. Sampai suatu saat, dipuncak tafakurnya, Beliau didatangi oleh Malaikat Jibril yang diperintahkan oleh Allah untuk mengajari Beliau cara belajar membaca ilmu tanpa buku.

"Iqraa ya Muhammad…, bacalah ya Muhammad..", kata Jibril dengan lembut kepada Beliau.

" Maa ana bi qarii…, saya tidak boleh baca", jawab Beliau dengan terhairan-hairan..


Beliau hairan dan bingung semasa disuruh membaca oleh Malaikat Jibril. Karena ketika disuruh membaca itu, tidak ada bukunya. Nak membaca apa?. Sampai tiga kali Beliau disuruh oleh Jibril untuk membaca. Dan tiga kali pula Beliau menjawab bahwa Beliau benar-benar tidak boleh membaca tulisan apa-apa. Karena memang tidak ada buku dihadapan Beliau saat itu untuk Beliau baca.
Tambahan lagi, entah benar entah tidak, menurut catatan sejarah Beliau tidak boleh tulis baca. Yang pasti pada masa itu Beliau benar-benar berada dalam posisi Ummi.
Sebuah posisi jiwa dan pikiran yang menjadi prasyarat mutlak untuk boleh membaca ilmu tanpa buku.

Kemudian Jibril memberitahu Nabi cara membaca ilmu tanpa buku:

BACALAH dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan…

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah…, Dst…

DERR…, dan selama beberapa hari berikutnya Beliau dialiri oleh getaran iman yang membuat tubuh Beliau seperti menggigil kedinginan. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya selama bertahun-tahun lamanya. Adakalanya setiap kali Beliau membaca ilmu tanpa buku itu, Beliau menggigil, kadangkala Beliau Bergetar,
tempo-tempo Beliau seperti tidur mendengkur halus, atau boleh pula Beliau mengalami sebuah mimpi yang jelas dan terang benderang tentang sesuatu pengajaran. Dan hasilnya adalah sebuah kitab kehidupan yang sangat luar biasa, yaitu Al Qur'an, serta aktualisasi pengamalan Al Qur'an itu yang kemudian dibukukan oleh para sahabat Beliau, setelah Beliau wafat, berupa As Sunnah atau Al Hadist.

Disisi ilmu pengatahuan alam, penemu listrik, Thomas Alfa Edison, juga tidak
pakai buku ketika dia berhasil menemukan fenomena kelistrikan. Dia hanya bermodalkan mainan layangan ditengah lapangan. Dia menemukan realitas kelistrikan karena ada petir. Benang layangannya menyala semasa berlaku petir, sehingga dia pun berkata aha…, eureka…. Berikutnya dia melakukan ratusan kali pengamatan tentang fenomena kelistrikan itu dengan menggunakan benang karbon.
Pada awalnya dia malah dianggap sebagai tukang sihir, karena dia melakukan pengamatannya itu didepan umum. Walaupun dilecehkan, dihina dan sering gagal dalam percobaannya, namun dia tetap dengan penuh gairah melakukan pengamatan dan percobaannya. Sampai pada akhirnya, hasil kontemplasi Thomas Alfa Edison itu telah menjadi sebuah karya yang monumental dan abadi. Lampu listrik…

Sedangkan kita, terutama majoriti umat islam di berbagai penjuru dunia, tidak begitu. Kita lebih banyak mengaji,
membaca, dan menghafal BUKU-BUKU. Kita tidak lagi suka melakukan kontemplasi di alam terbuka membaca kitab kehidupan yang tergelar luas dihadapan kita. Kita lebih senang membaca dan mendengarkan ilmu dari buku dan buku. Selalu saja buku dan buku. Dan hasilnya, kita telah menjadi orang-orang yang berilmu tapi juga
sekaligus berpikiran sempit. Sesempit ilmu yang hanya sebatas isi lembaran-lembaran buku, yang tentu saja membuat kita teresot-esot berhadapan
dengan kompleknya kekinian kehidupan yang menyata dan mengada.

Contohnya tidak payah yang susah-susah. Disekolah-sekolah, dari sekolah rendah sampai sekolah menengah. memang ada ilmu elektronik dibahas, dihafal, diujikan dengan sangat detail. Tapi semua itu adalah ilmu yang sudah ada dan malah sudah basi dan tidak terpakai lagi. Akibatnya kita tidak pernah mendapatkan hal-hal yang baru dalam ilmu elektronik itu. Tahu-tahu kita terkejut dengan fenomena NKIA, BB, APPL, SAMS…, dan sebagainya. Akhirnya kitapun tumbuh menjadi bangsa yang suka terkejut dan suka mengekor saja kepada hasil berbagai penemuan orang lain dari berbagai penjuru dunia.

Begitu juga dengan cara kita beragama. Gara-gara adanya ribuan buku agama yang mengupas ayat al Qur'an dan Al Hadist dengan sangat dalam oleh berbagai ilmuan agama islam, maka buku-buku itu telah menghijab perjalanan rohani kita hanya
sebatas kalimat-kalimat didalam buku-buku itu. Padahal fungsi buku-buku itu
sebenarnya hanyalah sebatas ilmu yang akan menunjukkan kepada kita arah yang harus kita lalui. Buku-buku itu bukan untuk dicari berkahnya, bukan untuk dibahas dan dihafalkan bab per bab. Tidak. Jadi untuk memahami agama islam yang
sangat sederhana dan mudah ini kita tidak perlu harus belajar berlama-lama
sampai s1-s2-s3-s4, profofesor, dan sebagainya. Terlalu lama. Soalnya boleh jadi umur kita ini besok sudah habis. Sementara kita belum mengamalkan ilmu-ilmu yang kita hafalkan itu sampai mendapatkan hasilnya sampai benar-benar MENJADI apa yang diinginkan oleh ilmu itu sendiri. Bukan hanya sekedar mengamalkan lalu kita
berutopia dialam mimpi.

Jadi, artikel singkat ini hanyalah untuk memberikan sedikit ruang berfikir yang
tidak biasa bagi siapa yang mahu. Yaitu agar kita mulai mahu membaca ilmu tanpa buku. Agar kita sering-sering melakukan bertafakur dialam terbuka. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dulu dengan jalan mengamati patung-patung, bulan, matahari, bintang-bintang, sehingga pada akhirnya Beliau mendapatkan ilmu
tentang Allah yang sebenarnya. Nabi Muhammad menemukan ayat-ayat Al Qur'an ketika beliau bertafakur di Gua Hira. Malah ketika Beliau melanjutkan tafakur Beliau dialam terbuka, ditengah-tengah masyarakat, ditengah-tengah riuh rendahnya kehidupan, Beliaupun boleh menemukan benang merah yang menghubungkan alam kehendak, alam penciptaan, alam aktiviti, serta alam reward dan punishment mulai dari awal yang tiada awal sampai ke akhir yang tiada akhir.
Rangkaian utuh pengalaman Nabi Muhammad dan para sahabat Beliau itu kemudian menjelma menjadi ayat-ayat Al Qur'an dan Al Hadist.


Jejak-jejak Al Qur'an dan Al Hadist ini menunjukkan kepada kita bahwa kalau kita ingin Belajar tentang Ilmu kehidupan, maka belajarlah dengan cara tanpa memakai buku pula. Belajarlah dengan cara bertafakur, Iqraa dialam terbuka.
Tinggalkanlah ruangan kelas sesering mungkin. Karena dinding-dinding ruang kelas itu akan menghalangi keluasan pikiran dan perasaan kita. Dinding-dinding masjid sekalipun akan boleh menghalangi kita dari membaca kitab kehidupan yang sedang tergelar didepan mata dan telinga kita.

Begitu juga dengan lembaran-lembaran buku, tutuplah…, setelah kita baca sejenak dan kita tahu maksud yang terkandung didalam buku tersebut. Kemudian kita lakukan prakteknya sampai kita temukan sendiri buku kehidupan kita dikekinian zaman. Lembaran buku-buku itu cukup hanya kita pakai sebagai landasan awal
tempat berpijak kita saja dalam melangkah. Just do it. Jadi tidak perlu kita hapalkan. Ia cukup kita pahami saja.

Selamat mencoba…

Salam…

No comments:

Post a Comment